Monday, January 2, 2012

:: Oki Setiana Dewi ::

Sebagai entri pembuka 2012, aku kongsikan kehidupan pemilik nama Oki Setiana Dewi. Peribadinya, Oki telah menarik aku untuk terus mengenalinya bukan hanya sebagai artis tetapi sebagai wanita muslimah yang sukar dicari kini. Semoga dia menjadi inspirasi buat semua sahabat muslimah.


Sejak kecil cita-citanya memang menjadi artis. Setiap akhir pekan ia menebar berpuluh-puluh curriculum vitae ke berbagai agency, ikut casting sana-sini, dan tak segan berperan sebagai figuran yang hanya terlihat bagian kaki atau punggung saja. Semua ia lakoni demi obsesi menjadi artis. Usaha tak kenal lelah itu kemudian berbuah manis. Tawaran berakting datang silih berganti. Namun, saat bakat aktingnya mulai dilirik para sutradara, justru kala itu juga ia seakan ‘membuang’ kesempatan emas mewujudkan obsesinya. Mimpi menjadi artis perlahan menjauh seiring keputusan Oki mengenakan jilbab.

Menginjak usia 15 tahun, Oki yang merantau dari Batam ke Jakarta seorang diri memutuskan menjalankan perintah agama yaitu memakai jilbab. Menutup aurat dilakukan mahasiswi Sastra Belanda Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini demi menjadi anak salehah yang doanya didengar Allah SWT. Oki yang terpukul berat saat mengetahui ibunya menderita penyakit langka, tak henti-hentinya berdoa demi kesembuhan sang ibu. “Bismillah..aku berjilbab! Semoga dengan jilbab ini aku bisa menjadi anak salehah, dan doaku didengar oleh-Mu untuk memberi kesembuhan kepada ia yang paling kucintai….” Itulah niat yang mengawali lembaran baru dalam hidupnya.

Bukan hal mudah menjalankan keputusan besar itu. Godaan dari dalam diri maupun dari luar terus berdatangan. Oki kerap masih tergiur baju-baju modis yang memperlihatkan lekuk tubuh. Sedangkan godaan dari luar, seabrek tawaran peran utama yang telah lama ia nantikan, sontak berdatang­an. Tapi syaratnya, dara kelahiran 13 Januari 1989 ini harus menanggalkan jilbabnya. Dengan tegas ia menolak! Lantas, apa tanggapan mereka terhadap penolakannya? “Kamu ini belum terkenal saja sudah sombong sekali. Begitu banyak orang menginginkan peran itu, kamu malah menolaknya! Kamu lupa dengan perjuangan kamu selama ini? Dengan jilbab, kamu tidak akan pernah bisa jadi apa-apa!” Tapi tekadnya sudah bulat. Cercaan itu tak menghalanginya untuk tetap berjilbab.

Bagi Oki, kini sudah ada furqan (batasan) yang jelas apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Oki adalah tipe wanita yang gigih dan tekun dalam menjalankan semua hal yang menjadi tanggung jawabnya, seperti akademik dan karier. Prestasi akademik anak pertama dari tiga bersaudara ini terbilang cemerlang. Ia kerap mendapat indeks prestasi di atas 3,5.


KAMPUS
Siang itu, menjelang pukul 11.30 WIB di kantin kampus yang menjadi tempat janjian, Oki menghampiri saya. Berbalut busana serba hijau dan wajah tanpa make-up, Oki terlihat manis dan natural. Lalu ia mengajak ke tempat lain lantaran tidak menyukai tempat ramai. Perpustakaan pun menjadi pilihan paling tepat.

Kami menuju sebuah meja di sebuah sudut perpustakaan FIB. “Sudut ini tempat favorit saya. Saya membaca, menulis, mengerjakan tugas kuliah di sini. Saya tidak suka tempat ramai. Pilihan lainnya di mushala,” jelas Oki. Membaca baginya adalah sebuah keharusan. Membaca ibarat membuka jendela dunia. Dia pun gemar menulis. “Menulis saya lakukan setiap hari di buku diary. Saya ingin berbagi sesuatu yang mungkin bermanfaat untuk orang lain, selain pengingat bagi saya sendiri,” papar dara yang telah menetaskan sebuah buku berjudul Melukis Pelangi. Buku yang belum genap setahun diluncurkan itu kini menjadi best seller dan telah tiga kali cetak ulang.

Oki berharap bisa terus menulis. Baginya, menulis merupakan pekerjaan yang kondusif untuk perempuan terutama yang sudah menikah dan mempunyai anak. Karena, menjadi penulis tidak harus keluar rumah, bisa dilakukan sambil mengurus anak, dan tidak banyak menyita waktu. Waktu menunjukkan pukul 14.00 WIB pertanda Oki harus pulang ke kost yang terletak tak jauh dari kampus. Sesampai di sana, saya terkejut. Gambaran seorang artis dengan citra gla­mor sama sekali tak terlihat. Kamar kost Oki berukuran sekitar 3×5 meter dengan perabot minimalis dan kondisi tidak terlalu rapi, tipikal kebanyakan anak kost. Kesibukan Oki yang padat membuatnya tak punya waktu merapikan kamar secara rutin. Saat itu saja, Oki sudah harus bersiap-siap untuk syuting sinetron terbarunya. Belum lagi, setiap akhir pekan saat break syuting, Oki sibuk menjadi pembicara di berbagai kampus dan sekolah untuk sharing seputar dunia kemuslimahan dan kemahasiswaan, juga acara bedah buku.

Di kamar kost nan mungil itu, berbagai kisah terekam. Termasuk kisah pilu saat Oki pertama kali mengetahui ibunya menderita penyakit langka yang belum ada obatnya. Di kamar itu pula ia menangis saat rindu keluarga, saat putus asa akan impiannya menaklukkan ibukota, dan saat dia merasakan suka cita. Cukup lama saya memandangi setiap detail isi kamar tersebut. Mulai dari lemari pakaian yang dipenuhi busana gamis beragam warna dan model, lalu rak buku yang dipenuhi ‘penghuninya’. Kemudian mata saya beralih ke ranjang yang dihiasi bantal dan boneka, serta tak ketinggalan laptop yang setia sebagai ‘penampung’ inspirasinya. Tak berselang lama, ibunda Oki, Yunifah Lismawati tiba. Ibunda Oki memang kerap bolak-balik Batam-Depok guna menjalani perawatan medis di rumah sakit yang letaknya tak jauh dari kost Oki. Senyum ramah dan sapaan akrab dilontarkannya kepada semua yang ada di sana. Wajah ibu lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya, begitu pengakuan Oki.


NIKAH MUDA
Sekitar pukul 16.00 WIB, Oki dijemput menuju lokasi syuting di Yayasan Dharmais, Jalan Raya Cibinong, Bogor. Sambil merias wajah – ia memakai make up hanya untuk keperluan syuting atau acara tertentu saja – Oki menjawab rentetan pertanyaan yang saya ajukan.

Sudah ada rencana menikah?
Saya termasuk perempuan yang ingin nikah muda. Waktu umur 20 tahun, saya pernah bilang ke keluarga soal keinginan ini tapi malah ditertawakan papa, ma
ma dan adik-adik. Katanya, mau menikah dengan siapa, jodohnya aja belum ada.

Saat ini sedang dekat dengan siapa?
Nggak ada. Sampai sekarang saya masih sendiri. Saya masih menunggu seseorang yang Allah pilihkan. Seseorang yang menurut saya mampu mendidik dan membimbing untuk terus mencintai Allah.

Memang sudah ada persiapan menikah muda?
Iya. Sejak umur 18 tahun saya sudah mengoleksi buku tentang pernikahan dan semuanya sudah selesai saya baca.

Pria idaman Anda?
Seperti yang dikatakan Rasulullah SAW, jika kamu memilih pasangan maka ada empat syarat. Pertama yang baik agamanya, selanjutnya fisik, harta dan keturunannya. Untuk spesifiknya, saya membutuhkan pria yang pintar dalam arti memiliki pemahaman agama yang baik supaya bisa membimbing saya dan keluarga.
Jadi suami saya ya guru saya dan anak-anak saya nanti karena saya suka sekali bertanya dan selalu ingin tahu.

Pendapat Anda tentang pa­caran?
Pengenalan diri sebelum menikah dengan pacaran, bagi saya, bukan hal utama. Sebab dalam Islam ada yang namanya proses perkenalan atau taaruf. Biasanya direkomendasikan oleh orangtua atau orang yang dikenal baik yang tahu mana yang baik buat kita. Tapi tetap harus yang saya suka karena dalam Islam tidak ada paksaan.

Ingin punya anak berapa setelah menikah nanti?
Saya ingin memiliki tiga anak. Sebenarnya keinginan itu sudah berubah seiring waktu. Dulu pengennya tujuh, terus berkurang lima dan berkurang lagi jadi tiga setelah mendengar cerita pengalaman orang lain.


AKTING
Setiba di lokasi syuting, belasan anak kecil yang tinggal di sekitar lokasi mengerubungi mobil, menunggu artis idolanya itu turun dari mobil. Apalagi tujuannya kalau tidak minta foto bareng. Cukup lama juga menunggu persiapan Oki menjelang pengambilan gambar. Sekira pukul 18.30 WIB, scene pertama Oki di hari itu mulai dilakukan. Kepiawaiannya dalam berakting tak perlu diragukan lagi, sebab sederet prestasi dalam seni peran telah dikantonginya.

Seni peran menjadi hobi atau hanya sekadar iseng?
Sejak SMP saya sudah aktif ikut teater, dilanjutkan waktu SMA dan kuliah.

Pengalaman paling berharga dalam seni peran?
Saat terpilih menjadi pemeran utama dalam acara pertandingan teater antar-jurusan di kampus. Proses audisinya tak sembarangan. Meski hanya bertaraf kampus, saya ngejalanin proses audisi yang cukup panjang dan ketat. Alhamdulillah saya akhirnya dapat peran utama. Tapi, saya tolak karena beberapa pertimbangan.

Pertama, busana sesuai skenario mengharuskan saya memakai pakaian adat Bali, itu artinya harus melepas jilbab.

Kedua, ada banyak dialog yang penuh kata-kata kotor dan saya tidak terbiasa dengan itu

Ketiga, ada adegan di mana saya harus bermesraan dengan pemeran pria.

Tapi lagi-lagi karena selembar jilbab, saya mendapat rejeki itu. Sang sutradara yang juga senior di jurusan kampus, mengubah semua naskah skenario yang dibuatnya berminggu-minggu demi mempertahankan saya sebagai pemeran utama. Kemudian, di akhir festival, diumumkan bahwa kelompok teater saya yang menjadi pemenang utama.

Dari sinilah, saya mendapat sebuah pelajaran berarti. Bahwa jika kita memiliki kualitas, orang akan membutuhkan kita. Mereka akan mengejar kita dan mengikuti apa permintaan kita. Sejak saat itu saya semakin menguatkan prinsip hidup dan semakin sayang dengan jilbab saya.

Aktor dan aktris idola?
Aktor, Lukman Sardi. Kalau aktris belum ada.

Film favorit?
Saya sebetulnya tidak begitu suka menonton film, apalagi film-film Hollywood.

TIDAK terasa jarum jam sudah menunjuk angka 03.00. Setelah menyelesaikan beberapa scene di satu lokasi, Oki pulang ke kost diantar sopir pihak produksi.

Sekitar pukul 04.00 WIB, ia tiba di kost. Sang ibu masih terlelap sesuai permintaan Oki agar ibunya tak perlu menunggu ia pulang. Apalagi keesokan hari, ibunya harus menjalani terapi.

Lelah seharian menjalani aktivitas, Oki pun langsung menuju ‘singgasana’ untuk mengistirahatkan tubuh agar esok hari bisa kembali beraktivitas.

*Artikel dari Annisa Magazine